Selasa, 18 Februari 2014

REINKARNASI
Sebuah perjalanan menuju proses
Oleh : Wahyu Triono


“proses itu selalu lahir, ide akan selalu ada, imajinasi juga pasti hadir melengkapi, bak tanaman yang mati meninggalkan tunas, bahkan sebuah proses pun berproses”



                Menurut pengetahuan saya yang teramat dangkal, saya bisa mengartikan bahwa renkarnasi adalah dari segala sesuatu yang mati, akan tercipta sebuah kehidupan baru, yang hilang akan berganti, sebuah rotasi kehidupan, kurang lebih sama dengan apa yang saya lakukan sekarang, terlahir dari sesuatu yang sempat hilang dari hidup saya.

                Semua berawal pada bulan mei 2012, dimana saat itu saya dihadapkan dengan sebuah dilema, antara acara yang siap berjalan atau pekerjaan, dengan berbagai macam pertimbangan dan sedikit kenekatan saat itu, saya memilih untuk melanjutkan acara yang sudah siap berjalan, dan saat itu saya sangat menyadari, bahwa setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi. Benar, pilihan saya berujung pemecatan, yang tentu saja dengan lapang dada harus saya terima, karena saya tahu benar saya berada dalam posisi pihak yang salah pada saat itu.

                Dua hari setelah pemecatan, bisa dibilang, saat itu saya cukup depresi, walau tidak sampai bunuh diri, tapi cukup menggangu ketenangan bathin, yang saya ingat, pada saat itu cuaca Balikpapan juga sedang tidak bagus, hujan berkali-kali sampai banjir, apa mungkin saat itu alam sedang berkawan dengan saya, hingga alam juga mewakili apa yang saya rasakan, yang jelas itu adalah satu buah kegagalan dalam hidup saya, bahkan saya tak tahu apa yang harus saya jawab jika orang tua saya bertanya soal pekerjaan.

                Merasa cukup puas dengan depresi, saya harus kembali berterimakasih kepada bilik renung, atau dalam bahasa umumnya adalah toilet, sebuah tempat buang hajat yang bisa saya akui, banyak andil dan berkontribusi dalam setiap penangkapan ide, saya tidak bilang bahwa ide diciptakan, karena bagi saya ide adalah benda metafisika yang berputar-putar diarea pikiran manusia, representasi dari apa yang telah ada di alam semesta, dan selalu melahirkan jutaan atau bahkan milyaran ide, yang secara random ter-recycle-kan dalam bentuk materi.
                
Yah intinya entah darimana datangnya, saya bisa kembali mengingat tentang tugas prakarya jaman sekolah dasar, yang biasa dibuat dari bubur kertas, hanya saja jika saya begitu saja mengulang secara sama persis dengan apa yang dilakukan pada saat sekolah dasar, maka tidak akan ada bedanya dengan karya anak SD, apa yang bisa menjadikannya spesial?, yang saya pikir saat itu adalah bentuk 3 dimensi, karena biasanya anak SD hanya mengolah bubur kertas dalam bentuk 2 dimensi. Saya putuskan untuk membuat topeng saat itu. Setelah di rancang dalamm bentuk sketsa, saya mulai mengumpilkan bahan dan alat yang bisa saya pakai, yaitu, kardus, kertas bekas, tepung kanji, cat tembok, straples, cutter dan kuas.

Setelah membuat pola bentuk kepala, saya mulai menyatukan potongan kardus, kemudian dilapisi kertas, sementara bentuk timbulnya saya menggunakan bubur kertas yang direkatkan dengan lem kanji, setelah mengulang-ulang proses tersebut, topeng jadi dalam waktu kurang lebih sekitar 2 minggu ditambah dengan proses finishing jadilah sebuah topeng sesuai dengan sketsa yang sudah saya buat terlebih dahulu, kurang lebih seperti ini jadinya




Tidak cukup puas dengan sebuah topeng dengan bahan yang seadanya, saya mulai berpikir untuk membuat dengan bahan yang lebih kuat,  saya agak lupa saat itu saya sudah kembali bekerja apa belum beberapa minggu kemudian dengan sisa uang yang saya miliki, saya memilih beberapa bahan alternatif yang sekiranya cocok, saat itu saya ganti lem kanji dengan  lem kayu, lebih praktis dan lebih murah, dan ternyata menghabiskan uang adalah pilihan yang tepat olahan saya menghasilkan karya yang lebih kuat, saya langsung buat beberapa karya percobaan, ini beberapa gambar dari karya-karya olahan bubur kertas babak kedua.






Dari gambar diatas, saya bagi lagi jadi dua klasifikasi bahan olahan yang berbeda, warna yang lebih putih saya buat dari olahan kertas HVS (kecuali topeng tengkorak dan topeng berhelm), dan yang berwarna lebih gelap saya buat dari olahan koran bekas, pada saat proses pembentukan kertas koran susah menyatu jadi harus berhati-hati dalam membentuk, dan setelah melalui proses pengeringan ternyata olahan kertas HVS memiliki hasil yang lebih padat ketimbang olahan koran yan masih memiliki rongga dan serat kasar didalamnya,  olahan koran juga mudah patah karena masa jenis kertasnya lebih ringan ketimbang kertas HVS, hasil olahan HVS juga lebih mudah diraut dan tidak berserabut, hasil uji coba babak dua jelas memberikan hasil bahwa kertas HVS lebih baik dari kertas koran, tapi anehnya. Untuk tahap tiga dan seterusnya saya justru lebih tertarik melakukan percobaan dengan kertas koran, mengingat koran bekas lebih mudah saya dapat ketimbang HVS bekas.

Setelah olahan babak dua selesai finishing, saya kembali melakukan beberapa percobaan, pada olahan berikutnya,saya menambahkan cat tembok dalam adonan bubur kertas, dan memperbanyak volume lem kertas dalam adonan, benar saja setelah melalui proses pengeringan hasilnya lebih keras dan kuat, setelah itu saya terus menggunakan kertas koran dalam pembuatan olahan bubur kertas, bahannya lebih mudah didapat dan murah.

Dalam pengerjaan mengolah bubur kertas masih banyak kekurangan yang harus kembali dipikirkan, yaitu saya tetap menyisakan sisa-sisa rautan yang kembali menjadi sampah, bahkan tak sedikit karya yang gagal, out of concept atau bahkan mandeg dalam proses pengerjaannya, dalam pengolahannya juga saya masih terbatas dengan kertas koran, karena bisa dibilang kertas koran memiliki masa jenis yang paling ringan dan lebih cepat hancur, sedangkan jenis kertas masih banyak, ada folio, HVS, Karton, Kardus dan lain-lain, setiap kertas juga memiliki prose penghancuran dengan waktu yang berbeda, seorang kawan pernah menyarankan untuk direbus, memang akan lebih cepat hancur, namun saya pikir, itu akan memakan space ruang kerja  dan cost yang lebih, lagi pula inti dari berkarya adalah menikmati waktu, jadi saya masih bertahan dengan sistem rendam dan lumat untuk proses membuburkan kertas.

Dalam proses pengerjaannya pun beberapa variasi pernah dilakukan, kadang saya mencampurkan semen putih, seorang kawan juga menyarankan menggunakan AM,  rangka juga bisa menggunakan kawat atau bambu, kardus yang dilapisi kertas juga bisa menjadi pilihan, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, juga aplikasi tergantung pada bentuk yang dipilih serta kegunaan, kombinasi bahan juga bisa menggunakan kayu, karena sifatnya yang sama, dan penggunaan lem kayu bisa jadi alasan yang cocok.

Setelah kurang lebih setahun berkutat dengan karya olahan bubur kertas, akhirnya saya berani go public, kadang-kadang ada beberapa kawan yang pesn untuk dibuatkan patung, asbak atau yang lainnya, belum lama juga saya mulai memamerkan hasil karya olahan bubur kertas yang saya buat, walau masih banyak menuai kritik, saya tidak menyerah untuk terus mencoba, karena kritik yang bersifat membangun adalah bentuk lain dari sebuah dukungan, bahkan sebuah hinaan atau cacian sekalipun bukan jadi sebuah alasan untuk berhenti.

Kurang lebih seperti itulah proses yang saya alami, sebuah renkarnasi yang saya lewati, apa yang hilang dari saya telah diganti dengan dipinjamkannya sebuah talenta, diberikan jalan untuk tidak menyerah, saya masih pecaya bahwa proses akan terus berlanjut, selama dukungan selalu ada, tak ada salahnya untuk terus mencoba, yang saya tahu walau proses tidak selalu panjang dan bahkan akan memakan waktu yang, tapi alangkah baiknya dinikmati, entah untuk waktu satu atau bertahun-tahun, tapi konsistensi, kerja keras, sabar dan sikap optimis akan membantu untuk dapat menikmati proses,  dibumbui dengan inovasi, kreativitas, juga bisa berlapang dada dan menerima segala bentuk kritikan. Semua berproses dan patut dinikmati, VITAE BREVIS ARS LONGA…. (why)


Balikpapan, 14 februari 2014 (06:01)

Ketika terjaga dalam ruang penuh imajinasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar