REINKARNASI
Sebuah perjalanan menuju proses
Oleh : Wahyu
Triono
“proses itu selalu lahir, ide akan selalu ada, imajinasi juga pasti
hadir melengkapi, bak tanaman yang mati meninggalkan tunas, bahkan sebuah
proses pun berproses”
Menurut
pengetahuan saya yang teramat dangkal, saya bisa mengartikan bahwa renkarnasi
adalah dari segala sesuatu yang mati, akan tercipta sebuah kehidupan baru, yang
hilang akan berganti, sebuah rotasi kehidupan, kurang lebih sama dengan apa
yang saya lakukan sekarang, terlahir dari sesuatu yang sempat hilang dari hidup
saya.
Semua
berawal pada bulan mei 2012, dimana saat itu saya dihadapkan dengan sebuah
dilema, antara acara yang siap berjalan atau pekerjaan, dengan berbagai macam
pertimbangan dan sedikit kenekatan saat itu, saya memilih untuk melanjutkan
acara yang sudah siap berjalan, dan saat itu saya sangat menyadari, bahwa
setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi. Benar, pilihan saya berujung
pemecatan, yang tentu saja dengan lapang dada harus saya terima, karena saya
tahu benar saya berada dalam posisi pihak yang salah pada saat itu.
Dua
hari setelah pemecatan, bisa dibilang, saat itu saya cukup depresi, walau tidak
sampai bunuh diri, tapi cukup menggangu ketenangan bathin, yang saya ingat,
pada saat itu cuaca Balikpapan juga sedang tidak bagus, hujan berkali-kali
sampai banjir, apa mungkin saat itu alam sedang berkawan dengan saya, hingga
alam juga mewakili apa yang saya rasakan, yang jelas itu adalah satu buah
kegagalan dalam hidup saya, bahkan saya tak tahu apa yang harus saya jawab jika
orang tua saya bertanya soal pekerjaan.
Merasa
cukup puas dengan depresi, saya harus kembali berterimakasih kepada bilik
renung, atau dalam bahasa umumnya adalah toilet, sebuah tempat buang hajat yang
bisa saya akui, banyak andil dan berkontribusi dalam setiap penangkapan ide,
saya tidak bilang bahwa ide diciptakan, karena bagi saya ide adalah benda
metafisika yang berputar-putar diarea pikiran manusia, representasi dari apa
yang telah ada di alam semesta, dan selalu melahirkan jutaan atau bahkan
milyaran ide, yang secara random ter-recycle-kan dalam bentuk materi.
Yah
intinya entah darimana datangnya, saya bisa kembali mengingat tentang tugas
prakarya jaman sekolah dasar, yang biasa dibuat dari bubur kertas, hanya saja
jika saya begitu saja mengulang secara sama persis dengan apa yang dilakukan
pada saat sekolah dasar, maka tidak akan ada bedanya dengan karya anak SD, apa
yang bisa menjadikannya spesial?, yang saya pikir saat itu adalah bentuk 3
dimensi, karena biasanya anak SD hanya mengolah bubur kertas dalam bentuk 2
dimensi. Saya putuskan untuk membuat topeng saat itu. Setelah di rancang dalamm
bentuk sketsa, saya mulai mengumpilkan bahan dan alat yang bisa saya pakai,
yaitu, kardus, kertas bekas, tepung kanji, cat tembok, straples, cutter dan
kuas.
Setelah membuat
pola bentuk kepala, saya mulai menyatukan potongan kardus, kemudian dilapisi
kertas, sementara bentuk timbulnya saya menggunakan bubur kertas yang
direkatkan dengan lem kanji, setelah mengulang-ulang proses tersebut, topeng jadi
dalam waktu kurang lebih sekitar 2 minggu ditambah dengan proses finishing
jadilah sebuah topeng sesuai dengan sketsa yang sudah saya buat terlebih
dahulu, kurang lebih seperti ini jadinya
Tidak cukup
puas dengan sebuah topeng dengan bahan yang seadanya, saya mulai berpikir untuk
membuat dengan bahan yang lebih kuat,
saya agak lupa saat itu saya sudah kembali bekerja apa belum beberapa
minggu kemudian dengan sisa uang yang saya miliki, saya memilih beberapa bahan
alternatif yang sekiranya cocok, saat itu saya ganti lem kanji dengan lem kayu, lebih praktis dan lebih murah, dan
ternyata menghabiskan uang adalah pilihan yang tepat olahan saya menghasilkan
karya yang lebih kuat, saya langsung buat beberapa karya percobaan, ini
beberapa gambar dari karya-karya olahan bubur kertas babak kedua.
Dari gambar
diatas, saya bagi lagi jadi dua klasifikasi bahan olahan yang berbeda, warna
yang lebih putih saya buat dari olahan kertas HVS (kecuali topeng tengkorak dan
topeng berhelm), dan yang berwarna lebih gelap saya buat dari olahan koran
bekas, pada saat proses pembentukan kertas koran susah menyatu jadi harus
berhati-hati dalam membentuk, dan setelah melalui proses pengeringan ternyata
olahan kertas HVS memiliki hasil yang lebih padat ketimbang olahan koran yan
masih memiliki rongga dan serat kasar didalamnya, olahan koran juga mudah patah karena masa
jenis kertasnya lebih ringan ketimbang kertas HVS, hasil olahan HVS juga lebih
mudah diraut dan tidak berserabut, hasil uji coba babak dua jelas memberikan
hasil bahwa kertas HVS lebih baik dari kertas koran, tapi anehnya. Untuk tahap
tiga dan seterusnya saya justru lebih tertarik melakukan percobaan dengan
kertas koran, mengingat koran bekas lebih mudah saya dapat ketimbang HVS bekas.
Setelah olahan
babak dua selesai finishing, saya kembali melakukan beberapa percobaan, pada
olahan berikutnya,saya menambahkan cat tembok dalam adonan bubur kertas, dan
memperbanyak volume lem kertas dalam adonan, benar saja setelah melalui proses
pengeringan hasilnya lebih keras dan kuat, setelah itu saya terus menggunakan
kertas koran dalam pembuatan olahan bubur kertas, bahannya lebih mudah didapat
dan murah.
Dalam pengerjaan
mengolah bubur kertas masih banyak kekurangan yang harus kembali dipikirkan,
yaitu saya tetap menyisakan sisa-sisa rautan yang kembali menjadi sampah,
bahkan tak sedikit karya yang gagal, out of concept atau bahkan mandeg dalam
proses pengerjaannya, dalam pengolahannya juga saya masih terbatas dengan
kertas koran, karena bisa dibilang kertas koran memiliki masa jenis yang paling
ringan dan lebih cepat hancur, sedangkan jenis kertas masih banyak, ada folio,
HVS, Karton, Kardus dan lain-lain, setiap kertas juga memiliki prose
penghancuran dengan waktu yang berbeda, seorang kawan pernah menyarankan untuk
direbus, memang akan lebih cepat hancur, namun saya pikir, itu akan memakan
space ruang kerja dan cost yang lebih,
lagi pula inti dari berkarya adalah menikmati waktu, jadi saya masih bertahan
dengan sistem rendam dan lumat untuk proses membuburkan kertas.
Dalam proses
pengerjaannya pun beberapa variasi pernah dilakukan, kadang saya mencampurkan
semen putih, seorang kawan juga menyarankan menggunakan AM, rangka juga bisa menggunakan kawat atau
bambu, kardus yang dilapisi kertas juga bisa menjadi pilihan, semua memiliki
kelebihan dan kekurangan, juga aplikasi tergantung pada bentuk yang dipilih
serta kegunaan, kombinasi bahan juga bisa menggunakan kayu, karena sifatnya
yang sama, dan penggunaan lem kayu bisa jadi alasan yang cocok.
Setelah kurang
lebih setahun berkutat dengan karya olahan bubur kertas, akhirnya saya berani
go public, kadang-kadang ada beberapa kawan yang pesn untuk dibuatkan patung,
asbak atau yang lainnya, belum lama juga saya mulai memamerkan hasil karya
olahan bubur kertas yang saya buat, walau masih banyak menuai kritik, saya
tidak menyerah untuk terus mencoba, karena kritik yang bersifat membangun
adalah bentuk lain dari sebuah dukungan, bahkan sebuah hinaan atau cacian
sekalipun bukan jadi sebuah alasan untuk berhenti.
Kurang lebih
seperti itulah proses yang saya alami, sebuah renkarnasi yang saya lewati, apa
yang hilang dari saya telah diganti dengan dipinjamkannya sebuah talenta,
diberikan jalan untuk tidak menyerah, saya masih pecaya bahwa proses akan terus
berlanjut, selama dukungan selalu ada, tak ada salahnya untuk terus mencoba,
yang saya tahu walau proses tidak selalu panjang dan bahkan akan memakan waktu
yang, tapi alangkah baiknya dinikmati, entah untuk waktu satu atau
bertahun-tahun, tapi konsistensi, kerja keras, sabar dan sikap optimis akan
membantu untuk dapat menikmati proses, dibumbui
dengan inovasi, kreativitas, juga bisa berlapang dada dan menerima segala
bentuk kritikan. Semua berproses dan patut dinikmati, VITAE BREVIS ARS LONGA…. (why)
Balikpapan, 14 februari 2014 (06:01)
Ketika terjaga dalam ruang penuh imajinasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar